Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui United Nation (UN) Women melakukan penelitian tentang kelayakan transportasi publik untuk penumpang perempuan di beberapa kota di Indonesia, tahun lalu. Kota dimaksud adalah Surabaya, Semarang dan Medan.

Desember lalu, di Jakarta, hasil penelitian tersebut dipublikasikan lewat sebuah seminar. Diundang sebagai peserta salah satunya adalah Sekretaris Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Medan, Jaya Sinaga.

Kata Jaya, sebagaimana hasil penelitian UN Women, dibanding Surabaya dan Semarang, layanan transportasi publik untuk perempuan di Kota Medan merupakan yang terburuk. Bahkan tak cuma untuk perempuan, tetapi juga bagi warga penumpang secara keseluruhan.

“Contohnya, terminal, selain kendaraan pengangkut warga ditata dengan baik, fasilitas lainnya (seperti ruang tunggu) disediakan. Coba bandingkan dengan terminal di Medan,” ungkap Jaya kepada medanbisnisdaily.com, Sabtu (5/1/2019).

Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, terangnya, hanya bisa meminta dan mendesak agar supir dan pelaku usaha angkutan publik berbenah. Pemerintah tidak melakukan apapun untuk berbenah.

Soal ketentuan tentang peremajaan angkutan kota agar ada jangka waktu maksimal sebuah kendaraan beroperasi, terangnya, sampai sekarang belum dimiliki Pemko Medan. Akibatnya, masih ada angkot yang sudah berusia 30 tahun tetapi tetap beroperasi.

Dzulmi Eldin berikut jajarannya dituding tidak menjalankan Permenhub 28/2015 tentang Standard Layanan Transportasi Publik. Agar penumpang merasa nyaman dan tidak meninggalkan angkutan kota, sebagai alternatif untuk bepergian seharusnya angkot dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC). Namun hal itu belum ada aturannya.

Senada dengan Jaya, Ketua Keluarga Besar Supir/Pemilik Angkutan Kota (KESPER) Sumut, Israel Situmeang, menyebutkan, subsidi kepada para pelaku usaha angkutan kota adalah salah satu cara untuk memudahkan peremajaan armada transportasi publik. Hal itu dapat dilakukan dengan menggandeng sejumlah pihak, terlebih swasta.

“Di berbagai kota, berdasarkan studi banding yang kita lakukan dengan Pemko Medan, subsidi angkutan kota bisa dilakukan. Tapi entah kenapa Wali Kota tidak juga melakukannya,” ujar Israel.

Banyaknya praktik parkir liar di Kota Medan ikut memperburuk layanan transportasi publik kepada warga. Parkir liar menyebabkan hak angkutan kota dirampas. Jalan raya yang seharusnya menjadi tempat berjalan angkot, berubah menjadi lahan parkir. Kemacetan pun terjadi, warga jadi enggan menggunakan jasa angkot.

“Regulasi tentang transportasi publik di Kota Medan nyaris tidak ada, padahal usaha di sektor ini kan tidak bisa dihentikan,” papar Jaya.

Baik Jaya maupun Israel, keduanya sama-sama pesimis bahwa Djulmi Eldin bisa membangun sistem transportasi publik yang baik di Kota Medan tahun 2019 ini. Jika situasi ini terus berlangsung, maka masa depan para pengendara angkutan umum akan terancam.

“Bagaimana mungkin Dzumli Eldin dipilih menjadi Wali Kota terbaik di dunia seperti Tri Rismaharini jika mengatur transportasinya kita saja tidak bisa,” tegas Israel.

Tinggalkan Balasan