JAKARTA – Pengelolaan transportasi publik di Jakarta semestinya tak dilakukan secara tambal-sulam. Larangan atas Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway atau APTB pada Senin (7/3) lalu, yang kemudian dicabut kembali oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, menunjukkan manajemen angkutan yang amburadul.

Keputusan maju-mundur itu semakin aneh karena sebenarnya ada masa “transisi” sejak angkutan penyangga bus Transjakarta itu dipersoalkan oleh Kementerian Perhubungan, hampir setahun yang lalu. Pada Mei 2015, Kementerian memerintahkan agar angkutan itu dihentikan karena dianggap tidak memiliki izin trayek. Kementerian menyatakan trayek yang melewati lebih dari satu provinsi merupakan kewenangan mereka, bukan provinsi. Dinas Perhubungan Jakarta pun memutuskan trayek angkutan perbatasan hanya boleh sampai ke halte terluar Transjakarta, tapi boleh melewati jalur khusus bus dengan syarat tidak memungut biaya.

Senin lalu, pengoperasian angkutan perbatasan itu justru dihentikan. Dinas Perhubungan beralasan APTB melanggar ketentuan karena memungut biaya tambahan di halte Transjakarta. Pelarangan mendadak itu menimbulkan protes dari pengguna angkutan, yang umumnya tinggal di kawasan penyangga Jakarta. Halte-halte terluar jalur khusus bus juga kisruh karena penumpang menumpuk walau Transjakarta menambah jumlah armadanya.

Kompromi akhirnya tercapai pada Senin sore, setelah Dinas Perhubungan bertemu dengan wakil enam operator, manajemen Transjakarta, dan Organda. Angkutan penyangga bisa tetap beroperasi menggunakan jalur khusus bus tapi tidak boleh memungut biaya tambahan—kembali ke kesepakatan yang telah diambil setahun silam. Namun izin itu hanya diberikan sementara—kabarnya, hingga akhir bulan ini. Kelak, angkutan itu akan diintegrasikan dengan sistem Transjakarta. Jalur mereka akan diambil oleh Transjabodetabek. Dinas Perhubungan DKI mengklaim menyiapkan 200 bus—bagian dari 600 bus bantuan Kementerian Perhubungan—untuk armada Transjabodetabek itu.

Dalam sebulan, pemerintah Jakarta harus menyelesaikan persoalan ini dengan pemerintah daerah di sekitarnya. Jangan sampai kepentingan konsumen kembali menjadi korban. Gubernur Basuki dan aparatnya semestinya tidak lagi memutuskan kebijakan dadakan. Hal ini penting dilakukan mengingat mayoritas pekerja yang merupakan pengguna angkutan terintegrasi tinggal di kota-kota sekeliling Jakarta.

Pengelolaan yang lebih baik sebenarnya memperbesar kemungkinan pengguna mobil pribadi beralih ke angkutan umum. Perencanaan yang matang semakin diperlukan, mengingat pemerintah Jakarta sedang mengebut pembangunan infrastruktur aneka moda transportasi. Kelak, semua moda itu harus terintegrasi sehingga pergerakan manusia semakin murah dan cepat. Jika keputusan-keputusan diambil secara reaktif dan hanya tambal-sulam seperti dalam hal angkutan perbatasan, cita-cita mengurangi 30 persen kemacetan Jakarta dengan berbagai pembangunan moda transportasi hanya menjadi mimpi.

Sumber: Tempo.co

Kembali ke program

Posting Terkait

Tinggalkan Balasan