BANDAR LAMPUNG – Sesuai UU 22/2009, kebijakan tentang lalu lintas harus dibahas dalam forum lalu lintas yang di dalamnya terdapat Organda. Sepuluh hari pasca-penerapan pengalihan arus lalu lintas di Jalan Teuku Umar—Jalan RA Kartini, kemacetan di pusat Kota Bandar Lampung tidak juga terurai. Sejak kebijakan itu diberlakukan pada 23 Februari 2016, berbarengan dengan pengalihan jalur trayek angkutan kota (angkot), kemacetan demi kemacetan pada jam-jam sibuk warga pulang dan pergi ke kantor atau sekolah terjadi di sejumlah titik.
Warga pun kebingungan dengan langkah cucuk-cabut yang diberlakukan Pemkot di sejumlah titik kemacetan. Misalnya, di Jalan Kartini yang semula dibuat U-turn kembali ditutup, kemudian Jalan Pemuda yang semula dibebaskan dari parkir kembali dijadikan lokasi parkir. Kemarin (3/3/2016), sekitar pukul 16.45—17.30, angkot, kendaraan pribadi, dan sepeda motor dari arah Jalan Kartini bertemu di satu titik, yakni di Jalan Pangkal Pinang.
Belum lagi di titik temu kendaraan dari Jalan Raden Intan depan pertokoan Ramayana, tempat tumpukan kendaraan terjadi. Tidak kurang dari 10 petugas, baik kepolisian, Dinas Perhubungan, maupun Polisi Pamong Praja berjaga-jaga di ujung Jalan Pangkal Pinang. Seorang warga, Evan (26), mengaku sejak ditutupnya putaran Tugu Juang, hampir setiap sore kemacetan terjadi, terutama di Jalan Teuku Umar dan Jalan Raden Intan. “Kalau di Jalan Teuku Umar, depan lampu merah RS Abdul Moeloek, macetnya sekarang. Ini masih banyak petugas aja makanya sedikit terurai, lama-lama macet lagi nanti,” ujar karyawan swasta yang mengaku setiap hari kerja melewati jalur itu, kemarin.
Pengamat transportasi Universitas Lampung, Rahayu Sulistyorini, mengatakan Pemkot diduga tidak melakukan analisis terlebih dulu soal rekayasa lalu lintas dari satu arah menjadi dua arah ini. Patokan dalam kebijakan itu no single solution. Artinya, saat menutup satu jalan, harus dicari alternatif jalan lain sehingga kendaraan tidak menumpuk. “Kalau sudah dianalisis, ya silakan diterapkan, berarti sudah diperhitungkan,” kata dosen Fakultas Teknik Unila itu, kemarin. Ketua Organisasi Angkatan Darat (Organda) Kota Bandar Lampung Tony Eka Candra mengaku dalam penerapan kebijakan itu, Organda tidak pernah mendapat undangan untuk membahasnya.
Padahal, sesuai UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, rekayasa lalu lintas harus dibahas dalam forum lalu lintas dan Organda ada di dalamnya. “Atas permasalahan itu, banyak laporan dan aduan yang masuk ke kami. Tetapi, karena sejak awal kami tidak dilibatkan, kami diam saja,” ujar Tony, kemarin. Beri Solusi Sementara itu, Kapolda Lampung Brigjen Ike Edwin meminta angkot tidak melakukan mogok karena akan membuat warga makin kesulitan. “Mereka merasa penghasilan berkurang sehingga tidak menerima kebijakan itu. Mogok bukan solusi,” kata Kapolda, ditemui saat berkantor di Lapangan Enggal, kemarin.
Solusinya, menurut Rahayu, dapat dilakukan pelarangan arus kendaraan pada waktu tertentu. Rahayu juga meminta sebelum semakin memperparah kemacetan, Pemkot harus mencari solusi dan mengevaluasi kebijakannya. “Kalau sekarang sudah telanjur kayak gini dan tetap macet, ya harus dievaluasi lagi,” ujarnya. Hal senada dikatakan Plt Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung Ahmad Saleh David Faranto. Menurutnya, pemerintah perlu mengevaluasi kemacetan yang memang belum teratasi hingga kini. “Kebijakan itu bukan harga mati. Jika memang kini macet, perlu dicarikan solusi lain,” kata David, kemarin.
Sumber: Lampost.co