JAKARTA – Kementerian Perhubungan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika agar memblokir layanan transportasi berbasis aplikasi Uber Taxi dan Grab Car dengan alasan melanggar aturan mengenai transportasi umum. Juru bicara Kementerian Perhubungan, JA Barata, mengatakan surat permintaan pemblokiran terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi Uber Taxi dan Grab Car itu disampaikan karena tidak memenuhi syarat sebagai layanan tranportasi umum. “Itu tidak memenuhi syarat karena menggunakan kendaraan pribadi, antara lain. Dia harus bentuk badan hukum untuk kegiatan transportasi, kemudian ada NPWP, harus membayar pajak, dengan badan hukum juga akan jelas nama dan alamat perusahaan.”
“Jadi kalau ada apa-apa itu ada yang bertanggung jawab untuk itu, ada kewajiban mengasuransikan, dan KIR setiap enam bulan sekali,” jelasnya kepada wartawan BBC Indonesia, Sri Lestari. Barata juga menekankan pelanggaran lain yang dilakukan layanan transportasi Uber Taxi dan Grab Car, yaitu menggunakan kendaraan pribadi yang berplat hitam, bukan kuning seperti angkutan umum lain. Dalam surat yang diterima Kominfo, Senin (14/03), Kemenhub menyatakan dua aplikasi internet itu menyalahi antara lain Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya dan UU nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Di beberapa kota, seperti Jakarta, Bali dan Bandung serta Surabaya, layanan transportasi Uber juga menimbulkan protes dari sejumlah kalangan dan bahkan pemerintah, terutama menyangkut izin layanan transportasi berbasis aplikasi ini. Di Jakarta, para supir taksi menggelar demonstrasi mendesak agar pemerintah melarang layanan taksi berbasis aplikasi, Senin (14/03).
Tetapi, pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia MTI Danang Parikesit mengatakan regulasi pemerintah harus dapat beradaptasi terhadap layanan transportasi berbasis aplikasi yang menawarkan tarif yang murah dan kemudahan bagi masyarakat.
“Saya kira justru ini dapat dijadikan momentum pengusaha taksi untuk dapat meningkatkan diri untuk memberikan layanan yang lebih kompetitif terhadap masyarakat, jangan-jangan selama ini tarif atau formula tarif yang diberlakukan oleh kemehub dan angkutan taksi itu terlalu mahal sehingga masyarakat tidak semua bisa mendapatkan layanan seperti ini,” jelas Danang.
Dia mengatakan pemerintah sebagai regulator sebaiknya juga mempertimbangkan aspek pelayanan publik, dengan mendorong layanan transportasi yang terjangkau bagi masyarakat. Danang menilai layanan transportasi berbasis aplikasi ini, justru dapat membuat masyarakat beralih dari menggunakan mobil pribadi ke layanan transportasi seperti taksi.
Di sejumlah pemerintah di kota-kota di AS, Meksiko dan Filipina telah merespon kemunculan aplikasi ini tanpa mengancam usaha taksi. Di Manila, pemerintah kota mengeluarkan kebijakan terkait uber ini, antara lain usia kendaraan harus kurang dari tujuh tahun, memiliki perangkat GPS, pengendara harus memiliki sertifikat dari departemen transportasi setempat.
Sampai saat ini, Uber Taxi ataupun Grab Car belum mengeluarkan pernyataan terkait permintaan pemblokiran layanan aplikasi mereka. Di sejumlah negara seperti di India, Jerman, dan Prancis, aplikasi Uber juga diprotes karena menciptakan ketidakadilan bagi supir taksi konvensional. Di Cina, Uber malah melaporkan kerugian sebesar Rp13,5 trilliun karena ‘kalah’ bersaing dengan layanan taksi lokal berbasis aplikasi lokal, Didi Kuaidi.
Sumber: BBC.com