Komisi III DPR RI (membidangi Hukum) I Putu Sudiartana

DENPASAR – Meluasnya penolakan operasional Grab dan Uber Taksi di Bali, ditanggapi serius Komisi III DPR RI (membidangi Hukum) I Putu Sudiartana. Politikus plontos asal Badung itu mengaku prihatin dengan nasib yang menimpa ribuan sopir lokal di Bali.

Pria yang akrab disapa Putu Leong itu berpandangan bahwa penolakan transportasi angkutan berbasis aplikasi impor ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus segera ditanggapi oleh pihak terkait, terutama dari pemerintah daerah dan aparat kepolisian setempat.

Putu Liong menilai kedua aplikasi baik Grab dan Uber Taksi dimanfaatkan secara ilegal oleh para sopir yang sebagian besar tidak memiliki izin operasional. Apalagi ada indikasi terjadi jual beli izin yang dilakukan oleh oknum tertentu untuk meloloskan operasional Grab dan Uber di Bali.

“Tidak ada itu izin resmi dan tidak memiliki badan usaha. Apalagi negara tidak mendapat kompensasi dari pajak, karena aplikasi digunakan secara ilegal. Selain itu perusahaannya ada di luar negeri, tidak jelas memiliki cabang perusahaan di Bali,” ucap Putu Leong saat dihubungi, Minggu (31/1/2016).

Seharusnya, kata politisi Partai Demokrat ini, perusahaan aplikasi yang bekerja sama dengan usaha transportasi wajib memiliki izin badan usaha dengan membuka cabang resmi di Bali. Badan usahanya harus resmi berizin, selain itu Grab dan Uber Taksi harus menggunakan angkutan sewa ataupun taksi yang berizin dan bergabung dengan Organda.

“Bila perlu juga memiliki KTA (kartu tanda anggota) dari Kadin Bali. Minimal semua persyaratan tersebut harus dipenuhi baru Grab dan Uber Taksi bisa beroperasi di Bali. Tapi ini kan sama sekali tidak ada izinnya. Jadinya selama ini sopir Grab dan Uber Taksi di Bali dibiarkan beroperasi secara liar dan ilegal di Bali,” tegasnya.

Melihat realita yang tidak benar itu, Putu Leong meminta pemerintah daerah, yakni Gubernur Bali Made Mangku Pastika, bupati dan wali kota wajib segera turun bertindak menertibkan setiap ada usaha liar di wilayahnya. Pasalnya, jika terus dibiarkan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan yang semakin meluas di masyarakat.

“Bahkan selama ini penolakan Grab dan Uber Taksi sudah menimbulkan dampak buruk bagi ekonomi Bali, terutama dari sisi sektor pariwisata,” jelasnya.

Bahkan, sambung Putu Leong, imbas dari penolakan dan penyampaian aspirasi lewat demontrasi yang dibiarkan berkepanjangan tidak menutup kemungkinan wisatawan yang datang ke Bali akan membatalkan kunjungannya, karena faktor resiko kenyamanan dan keamanan.

Untuk itu, Putu Leong berharap pemerintah daerah harus tegas menutup Grab dan Uber. Karena bilamana usahanya ada di Jakarta, juga wajib membuka cabang di Bali sesuai dengan Undang-Undang Badan Usaha.

“Jika Grab dan Uber Taksi ada di Bali juga harus ada izin operasional dan berinvestasi sesuai dengan mekanisme yang ada. Oleh karena itu, sikap gubernur harus sesuai dengan kehendak rakyat Bali. Jangan hanya terus mengutamakan kehendak pengusaha. Karena keputusan pemerintah harus mengutamakan keinginan rakyatnya, terutama para sopir yang sudah menderita karena terus merugi,” tandasnya.

Terkait munculnya gerakan penolakan ribuan sopir dari Aliansi Sopir se-Bali, Putu Leong meminta operasional Grab dan Uber Taksi di Bali jangan lagi ditoleransi oleh pemerintah. Bila perlu perusahaan aplikasi yang berbasis di luar negeri tersebut tidak ada lagi beroperasi di Bali dan harus disetop operasionalnya.

Sumber : Inilah.com

Posting Terkait

Tinggalkan Balasan