DENPASAR – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali telah mengeluarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) atas kasus dugaan pungutan liar (pungli) dan penyelewengan kebijakan di Organda serta Dinas Perhubungan (Dishub) Bali. Sprinlidik itu dikeluarkan pada Selasa (1/3) lalu. Menurut Kasipenkum dan Humas Kejati Bali Ashari Kurniawan, yang ditunjuk mengawal kasus ini sebagian besar adalah jaksa senior di Kejati Bali.

“Mulai Senin (7/3) akan dipanggil para sumber resmi untuk dimintai klarifikasi dalam rangka pengumpulan bahan keterangan atau pulbaket,” ucap Ashari, Minggu (6/3/2016). Menurut Ashari, dugaan awal yang didapat dari laporan masyarakat yakni adanya dugaan pungli yang dilakukan Organda Bali untuk rekomendasi izin transport. Namun sayang, Ashari enggan mengungkapkan secara detail mengenai kasus ini dengan alasab bisa mengganggu jalannya penyelidikan.

“Untuk pemeriksaan saksi, dimulai pada Senin (7/3) ini dengan memanggil Ketua Biro Angkutan Sewa Organda Badung, Wayan Suata,” jelasnya.

Sedangkan salah seorang pemilik angkutan sewa kepada awak media menerangkan bahwa uang perizinan hingga belasan juta rupiah per satu izin ini diduga mengalir ke Organda Bali, sementara lainnya ke Koperasi Angkutan Sewa. Ia menceritakan, awalnya punya mobil Toyota Avanza dengan status mobil pribadi dan agar bisa menjadi mobil angkutan sewa, ia harus mengurus izin di antaranya minta surat rekomendasi dari Organda Bali.

“Biasanya ada oknum di Organda Bali yang mengurus izin itu. Untuk mengubah status mobil pribadi ke angkutan sewa dikenai Rp 6,5 juta. Tiga minggu langsung kelar,” tutur sumber pemilik angkutan sewa itu.

Selanjutnya, usai mengantongi izin angkutan sewa dengan plat nomor khusus, pemilik kendaraan belum bisa beroperasi. Pasalnya, mereka harus ikut koperasi atau wadah lainnya yang berbadan hukum. Untuk menjadi anggota koperasi angkutan sewa yang kebanyakan juga dimiliki Organda Bali, pemilik kendaraan harus kembali mengeluarkan uang untuk oknum Organda tersebut.

“Kalau saya ikut salah satu koperasi pada awal bayar Rp 12 juta. Selanjutnya tiap bulan saya bayar iuran wajib yang katanya pajak Rp 1 juta,” terang sumber yang enggan namanya diekspose.

Awalnya, kasus kongkalikong dugaan pungli ini mencuat ke publik setelah muncul layanan aplikasi transportasi GrabCar dan Uber Taksi. Dengan dalih harga yang jauh lebih murah, GrabCar dan Uber Taksi beroperasi di Bali dengan sistem pemesanan via online.

Meski banyak ditolak banyak sopir serta diprotes dari berbagai pihak, anehnya Organda Bali tetap ngotot seolah-olah ‘ada udang dibalik batu’ yang tetap nekat melawan arus dengan mudah memberikan rekomendasi terhadap GrabCar.

Parahnya, meski surat keputusan resmi DPRD Bali sudah melarang GrabCar dan Uber Taksi serta diperkuat keputusan resmi Gubernur Bali Made Mangku Pastika, namun angkutan berbasis aplikasi online itu bak kacamata kuda tidak peduli tetap beroperasi secara liar.

Organda Bali juga tampaknya setengah hati bahkan terkesan melanggar keputusan resmi DPRD Bali dan melawan keputusan resmi Gubernur Bali dengan membiarkan GrabCar tetap beroperasi dengan rekomendasi yang dikeluarkan Organda Bali.

Sumber: Inilah.com

Kembali ke program

Posting Terkait

Tinggalkan Balasan